Tata Cara Penulisan Hadis


Hasil gambar untuk kitab hadis yang ditulis

Para Muhadditsin telah menetapkan tata cara penulisan hadis yang dapat dijadikan pedoman kesempurnaan bagi penulisan hadis dalam lembaran-lembaran.

Di antara hal-hal penting yang dapat menentukan kesahihan suatu naskah dan kemudian bisa dimanfaatkan adalah sebagai berikut. 

1. Para penulis hadis dan para pelajar hadis wajib mencurahkan seluruh perhatiannya untuk memantapkan hadis yang mereka tulis atau yang mereka dapatkan dari tulisan orang lain sesuai dengan keadaan ketika hadis itu diriwayatkan, baik yang berkenaan dengan syakal-nya maupun titik-titiknya, agar tidak terjadi kekeliruan. Sering kali hal ini diremehkan oleh orang yang cerdas dan kuat hafalannya, yang membawa akibat sangat menyedihkan karena setiap manusia pasti pernah mengalami lupa, dan yang pertama kali lupa adalah manusia yang pertama.

Seharusnya perhatian para penulis terhadap pedoman penulisan nama yang mirip dan serupa lebih besar daripada perhatiannya terhadap hal - hal lain yang serupa; karena nama itu tidak dapat diketahui dengan memahami maknanya dan tidak dapat diketahui dengan berdalil kepada struktur kalimatnya.

2. Para ulama menganjurkan agar lafal-lafal yang ber-syakal hendaknya diberi keterangan cara membacanya berkali-kali, yakni lafal tersebut ditulis dengan keterangan cara membacanya dalam matan, lalu ditulis pula pada catatan kakinya, dilengkapi dengan keterangan cara membacanya pula. Seringkali kita dapatkan para ulama menulis keterangan itu dengan ditambah kata ميات (keterangan), agar keterangan itu tidak dianggap sebagai kelanjutan kalimat.

3. Semestinya para pencari ilmu dan pelajar hadis selalu menuliskan selawat dan salam kepada Rasulullah Saw. Ketika menulis namanya, dan tidak bosan mengulang-ulanginya ketika ia berulang-ulang menulis namanya, karena penulisan selawat dan salam itu amat besar faedahnya, dan dalam waktu yang relatif singkat dapat dirasakan oleh para pencari hadis dan para penulisnya. Barang siapa mengabaikannya tidak akan mendapatkan keuntungan yang besar dan ia termasuk salah seorang yang kikir dan pantas dijauhkan dari keuntungan.

Di samping itu, para pencari ilmu dan pelajar hadis hendaknya menghindari penulisan selawat dan salam dengan kedua cara berikut.
a. Menulisnya dengan lambang صلعم atau ص dan sebagainya.
b. Hanya menuliskan selawatnya saja tanpa menuliskan salam atau sebaliknya.

4. Penulis dan pencari hadis hendaknya membandingkan kitabnya dengan kitab asli yang didengar oleh gurunya atau dengan naskah guru yang diriwayatkan kepadanya, meskipun cara periwayatannya dengan jalan ijazah. Tidak halal bagi seorang Muslim menyampaikan riwayat sebelum dibandingkan dengan kitab asli gurunya atau dengan naskah yang telah dibandingkan dengan kitab aslinya.

Diriwayatkan dari 'Urwah bin al-Zubair r.a., bahwa ia berkata kepada anaknya, Hisyam, "Apakah engkau telah menulis?" Hisyam menjawab, "Benar." Urwah berkata, "Sudahkah engkau membandingkannya?" Hisyam menjawab: "Belum." Urwah berkata, "Berarti engkau belum menulisnya."

Diriwayatkan dari al-Akhfasy, ia berkata, "Apabila suatu kitab disalin lalu tidak dibandingkan, maka kitab tersebut akan menjadi kitab yang asing."

Dikutip langsung dari (Nuruddin. 2017. 'Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya)

Posting Komentar

0 Komentar